Allah berfirman:
وَعَلَى
الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لَا تُكَلَّفُ
نَفْسٌ إِلَّا وُسْعَهَا
Dan kewajiban ayah
memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya.
(Al-Baqara: 233)
Imam Ibnu Katsir
rahimahullah menjelaskan, :
“Dan kewajiban
ayah si anak memberi nafkah (makan) dan pakaian kepada para ibu (si anak)
dengan ma’ruf (baik), yaitu dengan kebiasaan yang telah berlaku pada semisal
para ibu, dengan tanpa israf (berlebihan) dan tanpa bakhil (menyempitkan),
sesuai dengan kemampuannya di dalam kemudahannya, pertengahannya, dan
kesempitannya”
[Tafsir al
Qur’anul ‘Azhim, surat al Baqarah : 233, disalin almanhaj.or.id dari majalah
As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M.
http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0;]
http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0;]
Allah berfirman:
لِيُنفِقْ ذُو
سَعَةٍ مِّن سَعَتِهِ وَمَن قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنفِقْ مِمَّآ ءَاتَاهُ
اللهُ لاَيُكَلِّفُ اللهُ نَفْسًا إِلاَّ مَآءَاتَاهَا
“Hendaklah orang
yang mampu, memberi nafkah menurut kemampuannya. Dan orang yang disempitkan
rizkinya, hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya.
Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan (sekedar) apa yang
Allah berikan kepadanya ”
[ath Thalaq / 65:7]
Menjelaskan ayat
ini, Syaikh Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata :
“Ini sesuai dengan
hikmah dan rahmat Allah Ta’ala. Dia menjadikan (kewajiban) setiap orang sesuai
dengan keadaannya, dan Dia meringankan dari orang yang kesusaha, sehingga,
dalam masalah nafkah dan lainnya, Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang
melainkan (sekedar) kemampuannya.”
[Tafsir Taisir
Karimir Rahman, surat ath Thalaq : 7, disalin almanhaj.or.id dari majalah
As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M.
http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]
Allah berfirman;
الرِّجَالُ
قَوَّامُونَ عَلَى النِّسَاءِ بِمَا فَضَّلَ اللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍ
وَبِمَا أَنفَقُوا مِنْ أَمْوَالِهِمْ
Kaum laki-laki itu
adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian
mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita), dan karena mereka
(laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari harta mereka
(An-Nisaa: 34)
Abu Umamah
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
يَا ابْنَ آدَمَ
إِنَّكَ أَنْ تَبْذُلَ الْفَضْلَ خَيْرٌ لَكَ وَأَنْ تُمْسِكَهُ شَرٌّ لَكَ وَلَا
تُلَامُ عَلَى كَفَافٍ وَابْدَأْ بِمَنْ تَعُولُ وَالْيَدُ الْعُلْيَا خَيْرٌ مِنْ
الْيَدِ السُّفْلَى
“Wahai anak Adam!
Sesungguhnya jika kamu mensedekahkan kelebihan hartamu, itu lebih baik bagimu
daripada kamu simpan, karena hal itu akan lebih berbahaya bagimu. Dan kamu
tidak akan dicela jika menyimpan sekedar untuk keperluan. DAHULUKANLAH MEMBERI
NAFKAH KEPADA ORANG YANG MENJADI TANGGUNGANMU. Tangan yang di atas adalah lebih
baik, daripada tangan yang di bawah.”
(HR. Muslim)
Nabi shallallahu
‘alaihi wa sallam bersabda.
مَا أطْعَمْتَ
نَفْسَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَمَا أطْعَمْتَ وَلَدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ،
وَ مَا أطْعَمْتَ وَالِدَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ زَوْجَكَ
فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ، وَ مَا أطْعَمْتَ خَادِمَكَ فَهُوَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Apa yang engkau
berikan untuk memberi makan dirimu sendiri, maka itu adalah sedekah bagimu, dan
apa yang engkau berikan untuk memberi makan anakmu, maka itu adalah sedekah
bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan orang tuamu, maka itu
adalah sedekah bagimu. Dan apa yang engkau berikan untuk memberi makan
isterimu, maka itu adalah sedekah bagimu, dan apa yang engkau berikan untuk
memberi makan pelayanmu, maka itu adalah sedekah bagimu.”
[HR Ibnu Majah,
2138; Ahmad, 916727; dan dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Ibnu
Majah, 1739]
Rasulullah
bersabda:
وَلَهُنَّ
عَلَيْكُمْ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوف
Dan mereka (para
isteri) memiliki hak yang menjadi kewajiban kamu, yaitu (kamu wajib memberi)
rizki (makanan) dan pakaian kepada mereka dengan ma’ruf (baik)”.
[HR Muslim, no.
1218]
dari Hakim bin
Mu’awiyah Al Qusyairi dari [ayahnya], ia berkata; aku katakan; wahai
Rasulullah, apakah hak isteri salah seorang diantara kami atasnya?
beliau bersabda:
أَنْ تُطْعِمَهَا
إِذَا طَعِمْتَ وَتَكْسُوَهَا إِذَا اكْتَسَيْتَ أَوْ اكْتَسَبْتَ
“Engkau memberinya
makan apabila engkau makan, memberinya pakaian apabila engkau berpakaian…”
[HR Abu Dawud, no.
2142; Ibnu Majah, no. 1850; Syaikh al Albani mengatakan: “Hasan shahih”]
Al Hafizh Ibnul
Hajar Al Asqalani berkata,
”Memberi nafkah
kepada keluarga merupakan perkara yang wajib atas suami. Syari’at menyebutnya
sebagai sedekah, untuk menghindari anggapan bahwa para suami yang telah
menunaikan kewajiban mereka (memberi nafkah) tidak akan mendapatkan balasan
apa-apa. Mereka mengetahui balasan apa yang akan diberikan bagi orang yang
bersedekah.
Oleh karena itu,
syari’at memperkenalkan kepada mereka, bahwa nafkah kepada keluarga juga
termasuk sedekah (yang berhak mendapat pahala, Pen). Sehingga tidak boleh
memberikan sedekah kepada selain keluarga mereka, sebelum mereka mencukupi
nafkah (yang wajib) bagi keluarga mereka, sebagai pendorong untuk lebih
mengutamakan sedekah yang wajib mereka keluarkan (yakni nafkah kepada keluarga,
Pen) dari sedekah yang sunnat.”
Keutamaan-keutamaannya
Dalam hadits Saad
bin Malik diceritakan bahwa Nabi bersabda :
وَإِنَّكَ مَهْمَا
أَنْفَقْتَ مِنْ نَفَقَةٍ فَإِنَّهَا صَدَقَةٌ حَتَّى اللُّقْمَةُ الَّتِي
تَرْفَعُهَا إِلَى فِي امْرَأَتِكَ
“Sesungguhnya,
meskipun engkau memberikan nafkah kepada keluargamu sendiri, engkau tetap
memperoleh pahala, sampai sekerat makanan yang engkau suapkan ke mulut istrimu.”
(Bukhari)
dari Abu Mas’ud Al
Badri dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda:
إِنَّ الْمُسْلِمَ
إِذَا أَنْفَقَ عَلَى أَهْلِهِ نَفَقَةً وَهُوَ يَحْتَسِبُهَا كَانَتْ لَهُ
صَدَقَةً
“Apabila seorang
muslim memberi nafkah kepada keluarganya karena Allah, maka pahala nafkahnya
itu sama dengan pahala sedekah.”
(HR. Muslim)
Dalam hadits lain
juga disebutkan:
دِينَارٌ
أَنْفَقْتَهُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ فِي رَقَبَةٍ
وَدِينَارٌ تَصَدَّقْتَ بِهِ عَلَى مِسْكِينٍ وَدِينَارٌ أَنْفَقْتَهُ عَلَى
أَهْلِكَ أَعْظَمُهَا أَجْرًا الَّذِي أَنْفَقْتَهُ عَلَى أَهْلِكَ
“Harta yang engkau
infak-kan di jalan Allah, harta yang engkau infak-kan untuk memerdekakan budak,
harta yang engkau sedekahkan untuk orang-orang miskin dan harta yang engkau
infak-kan untuk keluargamu, ganjaran yang lebih besar adalah yang engkau infakqan
untuk keluargamu”.
(HR. Muslim dan
Ahmad)
Allah berfirman:
مَّثَلُ الَّذِينَ
يُنفِقُونَ أَمْوَالَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ كَمَثَلِ حَبَّةٍ أَنبَتَتْ سَبْعَ
سَنَابِلَ فِي كُلِّ سُنبُلَةٍ مِّائَةُ حَبَّةٍ وَاللَّهُ يُضَاعِفُ لِمَن
يَشَاءُ وَاللَّهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ
Perumpamaan
(nafkah yang dikeluarkan oleh) orang-orang yang menafkahkan hartanya di jalan
Allah adalah serupa dengan sebutir benih yang menumbuhkan tujuh bulir, pada
tiap-tiap bulir seratus biji. Allah melipat gandakan (ganjaran) bagi siapa yang
Dia kehendaki. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui.
(Al-Baqara: 261)
Rasulllah bersabda:
كُلُّ عَمَلِ ابْنِ
آدَمَ يُضَاعَفُ الْحَسَنَةُ عَشْرُ أَمْثَالِهَا إِلَى سَبْعِمِائَةِ ضِعْفٍ
Setiap amalan
kebaikan yang dilakukan oleh manusia akan dilipatgandakan dengan sepuluh
kebaikan yang semisal hingga tujuh ratus kali lipat.
(HR. Muslim no.
1151)
Rasulullah
shallallahu ‘alayhi wa sallam bersabda:
كُلُّ النَّاسِ
يَغْدُو فَباَئِعٌ نَفْسَهُ فَمُعْتِقُهَا أَوْ مُوْبِقُهَا
“Setiap pagi
manusia dapat menjual dirinya, apakah ia akan memerdekakan dirinya atau akan
membinasakannya.”
(HR. Muslim.
Shahih dikeluarkan oleh Muslim di dalam [Ath Thaharah/223/Abdul Baqi])
Dijelaskan oleh
Syaikh al ‘Utsaimin:
Setiap pagi
manusia pergi, mereka berusaha dan bersusah payah. Di antara mereka ada yang
membebaskan dirinya, dan ada pula yang membinasakan dirinya sesuai dengan
amalannya. Jika ia melakukan ketaatan kepada Allah dan istiqamah di atas
syari’atNya, berarti ia memerdekakan dirinya dari penghambaan setan dan nafsu.
Jika keadaannya kebalikan dari hal itu, berarti ia telah mencelakakan dirinya
sendiri.
[Dinukil untuk
Blog Ulama Sunnah
(http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/10/23/penjelasan-hadits-arbain-imam-an-nawawi-kedua-puluh-tiga-sarana-sarana-kebaikan/)
(http://ulamasunnah.wordpress.com/2009/10/23/penjelasan-hadits-arbain-imam-an-nawawi-kedua-puluh-tiga-sarana-sarana-kebaikan/)
dari
Syarah Arbain An Nawawiyah oleh Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin,
penerjemah Abu Abdillah Salim, Penerbit Pustaka Ar Rayyan. Silakan dicopy
dengan mencantumkan URL: http: //ulamasunnah.wordpress.com)]
Rasulullah
Shallallahu’alaihiwasallam bersabda:
غَدْوَةٌ فِي
سَبِيلِ اللَّهِ أَوْ رَوْحَةٌ خَيْرٌ مِنْ الدُّنْيَا وَمَا فِيهَا
“Berpagi hari atau
bersore hari fi sabilillah adalah lebih baik daripada dunia seisinya…”
(Bukhariy Muslim)
Dalam hadits Ka’ab
bin Ajizzah diriwayatkan bahwa ada seseorang lelaki yang lewat di hadapan Nabi.
Para sahabat melihat ada yang menakjubkan pada kulit dan semangatnya. Mereka
bertanya: “Wahai Rasulullah, bagus nian apabila keadaannya itu karena berjuang
di jalan Allah?”
Rasulullah
menanggapi:
إِنْ كَانَ خَرَجَ
يَسْعَى عَلَى وَلَدِهِ صِغَارًا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ، وَإِنْ كَانَ خَرَجَ
يَسْعَى عَلَى أَبَوَيْنِ شَيْخَيْنِ كَبِيرَيْنِ فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ،
وَإِنْ كَانَ يَسْعَى عَلَى نَفْسِهِ يُعِفُّهَا فَهُوَ فِي سَبِيلِ اللَّهِ،
وَإِنْ كَانَ خَرَجَ رِيَاءً وَمُفَاخَرَةً فَهُوَ فِي سَبِيلِ الشَّيْطَانِ
“kalau ia keluar
rumah demi menghidupi anak-anaknya yang masih kecil, berarti ia di jalan Allah
(FI SABILILLAH); kalau ia keluar rumah untuk menghidupi ayah ibunya yang sudah
tua renta, berarti ia di jalan Allah (FI SABILILLAH); dan apabila ia keluar
rumah demi menghidupi dirinya sendiri agar terpelihara, maka ia juga di jalan
Allah (FI SABILILLAH). Tetapi kalau ia keluar rumah karena rasa sombong dan
membanggakan diri, maka ia berada di jalan setan.”
(At-Thabrani;
dishahiihkan (shahiih li ghayrihi) oleh syaikh al-albaaniy dalam at-targhiib
dan shahiihul jaami’).
dan harta yang
diminta seorang isteri terhadap suami adalah YANG MENCUKUPI kehidupan
keseharian bagi keluarga mereka (suami, isteri, dan anak; dan juga biaya pokok
lainnya)
dari ‘Aa-isyah ia
berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا أَنْفَقَتْ
الْمَرْأَةُ مِنْ بَيْتِ زَوْجِهَا غَيْرَ مُفْسِدَةٍ كَانَ لَهَا أَجْرُهَا
“Jika seorang
isteri bersedekah dari harta suaminya, tanpa menimbulkan kerusakan, maka
baginya pahala atas apa yang ia infakkan.
وَلَهُ مِثْلُهُ
بِمَا اكْتَسَبَ وَلَهَا بِمَا أَنْفَقَتْ وَلِلْخَازِنِ مِثْلُ ذَلِكَ مِنْ
غَيْرِ أَنْ يَنْتَقِصَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا
“dan bagi suaminya
adalah pahala atas jerih payahnya (mencari nafkah), serta bagi bendaharanya
pahala seperti pahala tersebut, tanpa mengurangi pahala satu sama lainnya
sedikit pun.”
(HR. Muslim)
Dari ‘Aisyah bahwa
Hindun binti ‘Utbah berkata:
“Wahai Rasulullah,
sesungguhnya Abu Sufyan (suamiku, Pen) seorang laki-laki yang bakhil. Dia tidak
memberi (nafkah) kepadaku yang mencukupi aku dan anakku, kecuali yang aku ambil
darinya sedangkan dia tidak tahu”.
Maka beliau
bersabda:
خُذِي مَا
يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Ambillah yang
mencukupimu dan anakmu dengan patut”.
[HR Bukhari, no.
5364; Muslim, no. 1714].
Syaikh Shalih bin
Ghanim as Sadlaan berkata:
“Apa yang telah
lalu ini menunjukkan kewajiban nafkah untuk isteri. Dan nafkah itu diukur
dengan apa yang mencukupinya (isteri) dan anaknya dengan ma’ruf (patut, baik,
umum).
Jika suami tidak
memberi nafkah, sesungguhnya sang isteri berhak mengambil nafkahnya dari harta
suaminya, walau tanpa sepengetahuannya, dan hal itu hendaklah dengan ma’ruf.
Dan sepantasnya
bagi isteri tidak membebani suaminya dengan banyak tuntutan. Hendaklah dia
ridha dengan sedikit (nafkah), khususnya jika suami berada dalam kesusahan dan
kemiskinan”.
[Fiqhuz Zawaj,
hlm. 130, disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun
X/1427H/2006M. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0;]
Jika suami
tidak mampu memberi nafkah
Telah kita ketahui
bahwa nafkah merupakan hak isteri yang menjadi kewajiban suami. Maka
bagaimanakah sikap isteri jika suami tidak mampu memberi nafkah, dan dia tidak
memiliki harta yang dapat diambil untuk nafkah? Bolehkah isteri menuntut cerai?
Dalam masalah ini
ada tiga pendapat ulama [Lihat dalil masing-masing pendapat di dalam kitab
Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim, 3/400-404]:
1). Boleh
menuntut faskh (pembatalan aqad nikah).
Demikian ini
pendapat jumhur (mayoritas ulama) Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah. Juga
diriwayatkan dari Umar bin al Khaththab, Ali bin Abi Thalib, Abu Hurairah
Radhiyallahu ‘anhum. Juga pendapat Sa’id bin Musayyib, al Hasan al Bashri, Umar
bin Abdul Aziz, Rabi’ah, Ishaq, Abu ‘Ubaid, dan Abu Tsaur.
2). Tidak
boleh menuntut faskh, tetapi isteri wajib bersabar.
Demikian pendapat
Hanafiyah, yang satu pendapat dengan Imam Syafi’i. Begitu pula Syaikh
Abdurrahman as Sa’di.
3). Tidak
boleh menuntut faskh, bahkan isteri yang kaya wajib menafkahi suaminya yang
miskin.
Ini pendapat Ibnu
Hazm rahimahullah.
Syaikh Umar
Sulaiman al Asyqar –hafizhahullah- berkata:
“Al Hanafiyah
(para ulama madzhab Hanafi) membolehkan seorang isteri berhutang atas
tanggungan suaminya untuk memenuhi nafkahnya, dalam keadaan suami tidak mampu
memberikan nafkah. Sedangkan para fuqaha (para ahli fiqih) tiga madzhab, yaitu
: Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, berpendapat, seorang isteri disuruh
memilih antara tetap bersama suaminya dengan kesusahannya, atau berpisah
darinya dengan faskh (pembatalan) aqad nikah, dan nafkah bagi isteri tidak
wajib atas suaminya selama dia kesusahan”.
[Ahkamuz Zawaj,
Penerbit Darun Nafais, hlm. 287-288; disalin almanhaj.or.id dari majalah
As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M.
http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]
Syaikh Muhammad
bin Ibrahim bin Abdullah at Tuwaijiri –hafizhahullah- berkata:
“Jika suami
kesusahan memberikan nafkah, pakaian, atau tempat tinggal, atau suami pergi dan
tidak meninggalkan nafkah untuk isterinya dan susah mengambil dari hartanya
(suami), maka isteri berhak faskh (membatalkan aqad nikah), jika dia
berkehendak, dengan idzin hakim (pengadilan agama)”.
[Mukhtashar Fiqih
Islami, Penerbit Baitul Afkar ad Dauliyah, hlm. 860; disalin almanhaj.or.id
dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun X/1427H/2006M.
http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]
Tarjih
Setelah memaparkan
dalil masing-masing pendapat di atas, Abu Malik Kamal bin as Sayid Salim
menyatakan :
“Yang paling
nampak (kebenarannya) dari yang telah lalu, adalah pendapat bolehnya perpisahan (isteri
menuntut faskh, putus nikah, Pen) dengan sebab ketiadaan nafkah, berdasarkan
dalil-dalil yang telah disebutkan oleh jumhur.
Terlebih lagi,
para sahabat Radhiyallahu ‘anhum telah berpendapat dengannya dan
mengamalkannya. Dan karena di dalam pendapat ini menghilangkan kesusahan dari
isteri, apalagi jika suami menolak menthalaqnya karena pilihannya (sendiri)
atau bersepakat dengan isterinya.
Namun yang lebih
utama dan lebih baik, si isteri bersabar terhadap kesusahan suaminya dan
mendampinginya, serta membantu semampunya. Adapun dalil-dalil (ulama) yang
melarang perpisahan tidaklah kuat melawan dalil-dalil jumhur. Wallahu a’lam”.
[Shahih Fiqih
Sunnah, 3/400-404; disalin almanhaj.or.id dari majalah As-Sunnah Edisi 04/Tahun
X/1427H/2006M. http://www.almanhaj.or.id/content/2623/slash/0]
Tags:
pengetahuan